Sekolah Hanya Fokus IQ, EQ dan SQ Terlewatkan

Sabtu, 09 Oktober 2010.


oleh : Eko Soenaryo SE

Pendidikan sekolah bukan lagi satu-satunya tumpuan keberhasilan seseorang dalam meraih kebahagiaan. Sistem pendidikan yang dikenal selama ini hanya menekankan pada nilai akademik, kecerdasan otak saja. Siswa dituntut belajar mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi sekedar supaya memeroleh nilai bagus yang dapat dijadikan bekal mencari pekerjaan.
Kecerdasan IQ ditengarai tidak berjalan seimbang dengan dua kecerdasan lainnya, yakni kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Di sisi lain, dijumpai kekerasan dan penyimpangan perilaku. Keahlian dan pengetahuan saja tidaklah cukup, perlu ada pengembangan kecerdasan emosi, seperti inisiatif, optimis, kemampuan beradaptasi.
Emotional Spiritual Quotient (ESQ) mencoba menjawab persoalan tersebut.
Konsep ESQ yang berlaku secara universal akan membawa seseorang pada ‘predikat memuaskan’ bagi dirinya serta sesama. ESQ yang dicetuskan Ary Ginanjar Agustian, pendiri ESQ Leadership Center, memandu seseorang dalam membangun prinsip hidup dan karakter berdasar ESQ Way 165. Bagaimana konsep ESQ dalam memengaruhi keberhasilan seseorang?
Berikut petikan penuturan Eko Soenaryo SE, Koordinator ESQ Leadership Center Cabang Malang kepada Restu Distiamardianti dari KORAN PENDIDIKAN


Bisa anda jelaskan tiga kecerdasan apa yang dimiliki diri manusia? Dan kecerdasan apa yang tidak terlalu ditonjolkan oleh setiap manusia?

Setiap manusia memiliki kecerdasan otak (Intellectual Qoutient), kecerdasan emosi (Emosional Quotient) dan Spiritual Qoutient atau penguasaan ruhiah vertikal. IQ berupa keahlian (skill) dan pengetahuan (knowledge). EQ merupakan kemampuan untuk ‘merasa’ yang berpusat pada kejujuran suara hati. SQ merupakan kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna (value), kecerdasan untuk menilai tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna.
Saya menggambarkan EQ dengan garis hubung antara manusia dengan manusia yang lain. Sedangkan SQ, hubungan manusia dengan Tuhan. Tiga kecerdasan tersebut tidak bisa dipisahkan. Ketika seseorang berhasil meraih kesuksesan dengan memaksimalkan IQ dan EQ, seringkali ada perasaan hampa dalam kehidupan batinnya, karena mereka tidak memuat SQ.
ESQ sebagai metode dan konsep merupakan jawaban atas kekosongan batin. Ada hubungan antara duniawi, kepekaan emosi dan intelegensi yang baik, dengan akhirat. ESQ memelihara keseimbangan antara akhirat dan duniawi, sehingga keduanya mampu bersinergi menghasilkan kekuatan jiwa raga yang seimbang. Tidak ada dikotomi pemikiran dunia saja atau akhirat saja.

Adakah contoh kasus mengenai hal ini dalam kehidupan masyarakat kita?
Tiga kecerdasan ini seharusnya mendapat porsi yang serupa saat diasah, sebab ketiganya menentukan keberhasilan seseorang. Selama ini banyak orang lebih mengutamakan kecerdasan otak, Orangtua beramai-ramai memasukkan anaknya ke sekolah, hanya supaya mereka pintar. Indonesia tidak pernah kekurangan orang pandai, tapi orang yang tidak beretika juga tidak kalah banyak.
Permasalahan ini pernah dikaji Emotional Quotient Inventory, suatu lembaga data bank raksasa, dengan melakukan riset IQ. Hasilnya, secara teori IQ hanya memberikan kontribusi sebesar 20 persen bagi keberhasilan manusia. Faktanya, yang benar-benar terjadi, sekitar 6 persen. Jadi, IQ hanya menyumbang 6-20 persen atas keberhasilan seseorang. Kecerdasan otak baru syarat minimal mencapai meraih keberhasilan, sedangkan kecerdasan emosi memiliki peran jauh lebih signifikan.

Dengan demikian, bagaimana anda menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia?
Masyarakat kita banyak yang mengalami split personality (keterbelahan jiwa), banyak pribadi manusia yang memiliki dua jiwa yang bertolak belakang. Seperti yang saya katakan tadi, bangsa ini memang tidak kekurangan orang pintar. Juara olimpiade kimia dan fisika berasal dari Indonesia. Banyak hacker yang canggih juga berasal dari Indonesia. Lantas, banyak juga orang yang tidak memiliki moral dan etika.
Padahal ratusan ribu jamaah Indonesia setiap tahun menunaikan ibadah haji. Banyak orang rajin beribadah, tapi (maaf) tidak ketinggalan melakukan kegiatan negatif. Mereka hanya menggunakan agama sebagai simbol, sebab pemaknaan terhadap ajarannya terkesan kering yang tidak menghasilkan kerinduan terhadap kasih sayang dan kejujuran terhadap orang lain. Padahal ini berlaku di semua agama.


Dapat dikatakan, masyarakat kita mengalami krisis moral?

Iya, mereka yang krisis moral ini hanya menempatkan agama seperti simbol. Mereka tidak mencapai esensi spiritualitas yang berada di atas agama. Mereka yang mengalami hal ini perlu ditetesi sedikit demi sedikit, untuk mengeluarkan Emotional Spiritual Quotient (ESQ). Manusia kan memiliki tiga kecerdasan yang pasti ada semenjak ia lahir. Perkembangannya, saat dewasa ada kecerdasan yang makin lama makin tidak diasah.
Inilah yang menyebabkan masyarakat kita memiliki moral rendah. Penyebab lain, ada kalanya suara hati manusia tertutup. Mereka tidak mengakui perasaan universal saat menyaksikan kejadian yang menonjolkan value kasih sayang. Maka yang terjadi adalah kekerasan dan penyimpangan perilaku muncul dimana-mana. Tidak sama saat manusia mengiyakan perasaan tersebut.
Perasaan ini berasal dari God Spot yang disebut dengan kesadaran spiritual, bahwa semua manusia itu memiliki suara hati yang sama secara universal. Namun, ada 7 faktor yang membelenggu suara hati dan membuat manusia menjadi buta, antara lain prasangka, prinsip-prinsip hidup, pengalaman, kepentingan, sudut pandang, pembanding, dan literatur.
Oleh karena itu, kemampuan melihat sesuatu secara obyektif, harus didahului kemampuan mengenali faktor-faktor yang memengaruhi. Langkahnya, dengan mengembalikan manusia pada fitrah hatinya.


Apakah seseorang bisa menemukan hubungan antara IQ, EQ dan SQ dengan sendiri atau memerlukan bantuan, semacam pelatihan?

Bisa, namun tidak semua orang bisa memunculkan ESQ dalam dirinya. Analoginya begini, seseorang memiliki bahan baku lengkap seperti gula, garam, dan singkong. Tetapi tidak mengetahui resep untuk membuat bahan baku tadi menjadi makanan yang enak. Melakukan pelatihan membantu seseorang menemukan resep tadi, juga berguna bagi seseorang untuk menyinergikan IQ, EQ, dan SQ secara komprehensif.
Patut diingat, pada umumnya IQ tidak berubah selama masih hidup, berbeda dengan kecakapan emosi yang dapat terus meningkat dengan motivasi dan usaha yang benar. Meningkatkan EQ yang seimbang dengan IQ, disertai latihan dan tidak mengabaikan kecerdasan emosi dan spiritual, akan meminimalisir kegagalan.

Siapa saja yang perlu menumbuhkan kecerdasan emosi dan spiritual?
Setiap orang, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Anak-anak tidak terlepas dari masalah yang membelit, misalnya yang kita dengar ada anak-anak yang mengalami stres kemudian bunuh diri, adapula yang melakukan kekerasan terhadap teman sebayanya. Tekanan psikologis ini bisa dijumpai di rumah, sekolah, dan lingkungannya. Pada orang dewasa, ini nyata terjadi semisal pada lingkungan perusahaan.
Membangun ESQ dapat meningkatkan motivasi karyawan dalam bekerja. Bahkan bisa merubah budaya ketidakdisplinan menjadi disiplin dan meningkatkan rasa tanggung jawab karyawan terhadap perusahaan tempat ia bekerja. Metodologi training yang diterapkan akan menuntun peserta membangkitkan 7 nilai dasar, yakni kejujuran, keadilan, kedisiplinan, tanggung jawab, visioner, kerjasama, dan kepedulian.
Tujuh nilai dasar itu sebenarnya sudah ada dalam diri manusia. Sehingga melalui pelatihan akan menghasilkan peningkatan ESQ secara berkesinambungan dan berkelanjutan seumur hidup.


Mengapa anak-anak memerlukan ESQ? Apakah pendidikan di sekolah belum mengarah ke sana?

Sekolah kan merupakan pendidikan formal yang mengasah kemampuan otak. Siswa belajar, supaya bisa membaca menulis dan berhitung. Selama ini, masyarakat hanya mendewakan pencapaian kecerdasan intelektual, yang berhubungan dengan kemampuan menghafal, nalar, dan logika. Pendidikan dengan pola demikian, hanya akan menghasilkan seseorang yang berdasar intelektual komitmen.
Intelektual komitmen menyangkut hal-hal yang bersifat fisik atau materi, contohnya, pelajar yang hanya ingin memeroleh nilai tinggi saat ujian, mengharapkan pujian atau hadiah dari teman atau keluarga saat nilai mereka baik, termasuk menghalalkan segala cara supaya mendapat nilai baik dengan mencontek pekerjaan teman. Ini adalah dampak dari dunia pendidikan yang hanya mementingkan IQ dan mengenyampingkan EQ dan SQ.

Mengapa, training ESQ mengelompokkan anak-anak menjadi satu kelas tersendiri?
Ini kembali pada tujuan ESQ untuk membentuk karakter yang tangguh dengan memadukan konsep IQ, EQ, dan SQ. Anak-anak jauh lebih sulit dikendalikan daripada orang dewasa. Sehingga membutuhkan perhatian yang lebih besar, kelas untuk anak-anak saja dibatasi 75-100 orang. Lagipula untuk memasuki dunia anak-anak perlu media yang berbeda, lebih banyak permainannya dan berkesan atraktif dan demonstratif. Pelatihan khusus anak-anak juga menyiasati bagaimana seorang trainer menghindarkan rasa jenuh, sehingga pikiran terbuka untuk memudahkan menyerap materi.

Comentários:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar Anda untuk Blog Ini

 
KANAK HULU MAHAKAM © Copyright 2010 | Design By dhinkdoank |